![]() |
G30S PKI |
Terlalu banyak kesalahpahaman di
negeri ini. Sebagai bentuk pemerintahan yang berpedoman pada Negara Bangsa, kesatuan
walau berbeda karena kesalahpahaman harus selalu dipertahankan. Bukan
kesalahpahamannya yang dipertahankan, tapi kesatuannya. Ingat, kesatuannya. Tak
apalah untuk sementara yang Islam berdempetan tempat dengan yang Kristen,
Budha, Hindu dan sebagainya. Karena gempuran dari rasa sakit tubuh yang paling
ampuh selalu lebih unggul yang dari dalam.
Sekarang kita lihat tentang isu
bangkitnya PKI. PKI bisa jadi adalah sebuah bentuk dari masalah, bisa juga
sebuah kesadaran untuk lebih mempererat pegangan antar individu. Seperti halnya
apa yang terjadi dengan penista agama yang menjangkit gubernur Jakarta, manusia
seakan perlu diingatkan pada sesuatu yang sudah diketahuinya. Masalah penistaan
agama tempo itu, seseorang seperti baru sadar bahwa dalam Alquran terdapat
surah Almaidah. Saya tarik pada kejadian isu yang sering menjadi hal tabu
tentang bangkitnya PKI. Itu tak jauh beda.
Ada yang mengatakan bahwa yang
berteriak adalah sama dengan apa yang diteriakkannya. Tukang bubur berteriak
bubur, tukang sate berteriak sate, tukang sol berteriak sol, dan mungkin bisa
ditarik kesimpulan bagi mereka yang berteriak-teriak seperti anak kecil itu. Sekarang
perlu belajar kedewasaan, masa kecil sudah lalu, seharusnya bisa belajar dari
masa kecil yang lalu itu, bukan malah mengulangnya.
Tentang PKI, bukan saya pro dan
mendukungnya. Tidak. Saya hanya mencoba bersikap dewasa, walau sebenarnya saya
sendiri masih bocah. Tapi apa salahnya bocah bersikap dewasa, bukankah itu tampak
lebih keren?
Kenyataan dari masa dulu, semua
tahu tentang kejadian pembantaian di orde Suharto. Maaf bukan saya lancang
mengata-ngatai kepemimpinan Suharto. Dia pemimpin yang baik, lebih lama
memimpin dari yang lain malah dalam sejarah kepresidenan negeri ini. Namun anehnya,
bagaimana orang yang dibantai dengan kejam lalu dikatakan bahwa yang dibantai
itu kejam? Kata dan kalimat serta pembicaraan yang sering saya dengar di
sekitar, PKI itu kejam, keji, pembunuh dan buruk. Tapi, beruntung Suharto dapat
melenyapkannya, menebang akar-akarnya hingga tumbang. Malah sekarang mau tumbuh
lagi. Bisa dibayangkan bagaimana kejamnya PKI, bukan? Hingga dia dibantai
sedemikian rupa, perempuan-perempuannya diperkosa? Anak kecil yang memiliki
keterhubungan darah menderita? Bahkan tak ayal yang masih dalam kandungan termasuk
salah? Itulah PKI yang kejam?
Partai Komunis Indonesia, saya
tak mau peduli apa pun itu namanya, karena saya memang tak peduli. Loh tak
peduli kok seperti membela-bela PKI? Bukan seperti itu saudara sekalian, saya
hanya jengkel mendapati kesalahpahaman. Seperti yang saya buka di awal-awal
tulisan ini. Bayangkan, dalam suatu bus melanggar rambu lalu lintas, lalu yang
salah adalah penumpangnya, semuanya! Termasuk anak kecil yang berada di pangkuan
sang ibu, remaja yang buru-buru ke sekolah untuk menyelesaikan pekerjaan rumah
yang lupa dikerjakan, semua ikut salah. Hanya karena sopir dari bus itu yang
melakukannya. Sungguh adil, bukan? Adil sekali.
Ditambah lagi, saya mendapati
pengakuan dari suatu keluarga yang sebenarnya kakek, nenek, ayah ibu atau
apalah dari sanak familinya tidak ada keterkaitan dengan PKI juga menjadi
korban dari kecaman, “anak PKI!” Manusia yang mencari kesempatan dalam
kesempatan. Karena ada kesempatan pembasmian oknum PKI, lantas yang bukan PKI
dituduh sebagai PKI. Dengan demikian halallah darah PKI itu untuk dibunuh,
bolehlah diperkosa, dihina, dirampas harta dan haknya. Sungguh.
Dari sudut pandang mana pun,
memang tak ada kebaikan dari suatu organisasi pemberontak yang memiliki
kerentanan akan membuat akibat buruk bagi negeri, tapi lebih akan sangat parah
lagi kalau diadu domba hanya oleh telunjuk yang dengan ringan dan santainya
mengatakan, “itu dia PKI, hajar!” Atau, “dia PKI, perempuan itu PKI, kita
perkosa, halal darahnya!” Padahal hanya karena ada dendam si Siti tak bisa
dinikahi, timbul amarah hingga tega menuding tanpa menunjukkan wajah dosa. Fitnah
yang lebih berbisa dari busa.
Kesalahpahaman. Bagaimanapun kita
membela bahwa kita tidak salah, tidak ada keterkaitan dengan apa yang
disematkan, tetap menjadi bumerang. Tidak sedikit orang yang mati sia-sia karena
kesalahpahaman. Romeo yang mati meneguk racun karena salah paham tentang tanda
yang diberikan Juliet untuk bersabar, hanya karena melihat Julietnya terbujur
kaku dianggap sudah mati, lalu demi menepati janji sehidup-semati hingga dengan
santai menegur racun. Atau seperti kisah Sahabat nabi yang bernama Ali,
berperang dengan istri nabi yang bernama Aisyah hingga menimbulkan pertumpahan
darah. Kesalahpahaman seperti bumbu pedas, atau seperti sambalado yang rasanya
acak-acakan.
Mulut sangat mudah melakukan
banyak hal. Dia tidak berbisa tapi mematikan. Tidak tajam tapi menusuk. Mulut tidak
ada kekuatannya apa-apa, tapi begitu mudah dapat membunuh. Hanya dengan
bersenjata kata untuk membuat salah paham, hancurlah bumi hati dari keyakinan. Jalan
terakhir kalau keadaannya sudah seperti hal tersebut, jangan percaya dan mudah
percaya pada apa pun. Kita cukup percaya pada diri sendiri dan adanya tuhan
serta nabi sebagai utusannya. Jangan menambah kepercayaan pada keseluruhan
orang, karena rukun iman tak muat dalam halaman. Segalanya hanya Tuhan yang
tahu.[]
0 Comment for "Kau PKI Wahai Bocah!"